Rabu, 14 Mei 2014

Apakah Semua Orang Kafir Sama ?

Foto: ‎#imut nongol lagi,

Apakah Semua Orang Kafir Sama ?

APAKAH SEMUA ORANG KAFIR SAMA?

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi

Ketika kekhilafahan Islam dan hukum Islam ditinggalkan, maka banyak sekali hak dan kewajiban yang terlantar dan disalahartikan. Sikap dan tindakan yang melanggar syariat dianggap bagian dari syariat, terutama yang berhubungan dengan orang kafir. Ada yang beranggapan, orang kafir seluruhnya sama, wajib diperangi, tidak boleh diberi perlindungan dan keamanan. Sebaliknya, ada juga yang menganggap semua orang kafir itu memiliki hak-hak yang sama dengan kaum Muslimin. Kedua anggapan ini tidak bisa dibenarkan. Anggapan pertama akan menyeret kepada perbuatan zhalim, padahal Islam mengajarkan keadilan dan mengharamkan perbuatan zhalim kepada siapapun juga. Sedangkan pandangan kedua akan melunturkan dan mengikis sifat wala’ (loyalitas dan kesetiaan kepada kaum Muslimin) dan bara’ (berlepas diri dari semua orang kafir) dari hati kaum Muslimin.

Lalu bagaimanakah seharusnya kita berhubungan dengan orang-orang kafir itu ? Apakah mereka disikapi sama ?

KEINDAHAN DAN KEADILAN ISLAM
Islam melarang umatnya melakukan pembunuhan tanpa alasan yang haq (dibenarkan). Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا

"Sesungguhnya barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya".[al-Mâidah/5:32]

Juga firman-Nya:

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan suatu (sebab) yang benar" [al-‘An’âm/6:151]

Kata "jiwa" dalam ayat di atas bersifat umum mencakup jiwa Muslim dan non muslim. Semuanya haram dibunuh kecuali dengan alasan yang dibenarkan syariat, misalnya tindak pembunuhan yang dilakukannya. Jika alasan yang dibenarkan ini ada pada seseorang, maka syariat memperbolehkan membunuhnya sebagai hukuman atas perbuatan yang dilakukannya. Syariat tidak pernah memberikan izin, apalagi memerintahkan membunuh satu jiwa dengan sebab kejahatan yang dilakukan orang lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ

"Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain" [al-Isrậ'/17:15]

Inilah Islam, sebuah dîn (ajaran agama) yang dibangun di atas dasar keadilan dan memerintahkan umatnya untuk senantiasa berbuat adil.

ORANG KAFIR DAN HAK MEREKA.
Para ulama membagi orang kafir menjadi tiga kategori:
1. Orang kafir harbi (al-muhâribîn)
2. Orang kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum Muslimin (ahlu al-‘ahd)
3. Orang kafir ahlu dzimmah (adz-dzimmi)

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan : "Setelah surat Barâ`ah (at-Taubah) turun, masalah orang kafir terbagi menjadi tiga golongan : kafir harbi (al-muhâribîn), ahlu al-‘ahd dan ahlu adz-dzimmah.[1]

KAFIR HARBI.
Orang kafir harbi adalah seluruh orang musyrik dan Ahli kitab yang boleh diperangi atau semua orang kafir yang menampakkan permusuhan dan menyerang kaum Muslimin.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimîn rahimahullah menyatakan : "Kafir harbi tidak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan dari kaum Muslimin." [2]

Mereka adalah orang kafir asli yang diperangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukannya, berarti mereka telah menjaga jiwa dan harta mereka dariku (Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) kecuali dengan (alasan-red) hak Islam serta hisab mereka diserahkan kepada Allah" [HR al-Bukhâri]

Golongan ini diperangi, apabila ia atau negaranya telah menampakkan atau menyatakan perang terhadap kaum Muslimin atau kaum Muslimin terlebih dahulu mengumumkan perang terhadap mereka setelah orang-orang kafir ini menolak ajakan kepada Islam.

Perlu diketahui, tidak semua kafir harbi diperangi. Dalam banyak hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang membunuh orang yang tidak ikut perang seperti anak-anak, wanita, orang-orang jompo, lumpuh, banci, pendeta dan orang buta. Kemudian Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah menjelaskan bahwa tujuh golongan ini tidak boleh dibunuh kecuali dengan salah satu dari tiga sebab berikut :
a. Mereka memiliki peran pemikiran dan pengaturan strategi
b. Apabila mereka ikut berperang
c. Memberikan dorongan semangat kepada para tentara musuh untuk berperang.[4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: "Apabila hukum asal dari peperangan yang disyariatkan itu adalah jihad dan tujuannya adalah menjadikan agama ini seluruhnya untuk Allah Azza wa Jalla dan meninggikan kalimat Allah Azza wa Jalla sehingga menjadi yang tertinggi, maka orang yang menghalang-halangi harus diperangi. Sementara orang yang tidak memiliki kekuatan untuk menghalangi atau berperang, seperti wanita, anak-anak, pendeta (rahib), orang jompo, buta dan lumpuh serta sejenisnya, mereka ini tidak boleh dibunuh menurut jumhur Ulama, kecuali jika mereka ikut andil dalam peperangan, baik dengan perkataan atau perbuatannya. Walaupun sebagian Ulama ada yang memandang boleh membunuh secara keseluruhan disebabkan kekufuran mereka semata kecuali wanita dan anak-anak karena mereka adalah harta (ghanimah) bagi kaum Muslimin. (Tapi) pendapat yang benar adalah pendapat pertama.[5]

ORANG KAFIR HARBI YANG MENDAPATKAN JAMINAN KEAMANAN
Golongan ini terbagi menjadi dua yaitu yang minta suaka atau perlindungan keamanan (al-musta`min) dan yang memiliki perjanjian damai yang disepakati (al-mu’âhad).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah menyatakan: "al-musta’minûn memiliki hak mendapat perlindungan dari kaum Muslimin dalam waktu dan tempat yang telah ditentukan, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ

"Dan jika salah seorang kaum musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya" [at-Taubah/9:6]

Sedangkan al-mu’âhad, mereka berhak mendapatkan pelaksanaan perjanjian dari kita dalam waktu yang sudah disepakati, selama mereka tetap berpegang pada janji mereka tanpa menyalahinya sedikitpun, tidak membantu musuh yang menyerang kita serta tidak mencela agama kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَىٰ مُدَّتِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

"Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa" [at-Taubah/9:4]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ ۙ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ

"Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya" [at-Taubah/9:12] [6]

Tentang pemberian keamanan ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَذِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ

"Perlindungan kaum Muslimin (terhadap orang kafir) adalah sama walaupun jaminan itu diberikan oleh kaum Muslimin yang paling rendah" [7]

Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa hak perlindungan kepada non Muslim boleh diberikan oleh seorang Muslim. Apabila syarat-syarat pemberian perlindungan telah terpenuhi, maka perlindungan yang diberikan oleh seorang Muslim memiliki kekuatan yang sama dengan perlindungan yang diberikan penguasa muslim. Atas dasar ini, maka pemberian perlindungan seorang Muslim secara pribadi atau penguasa Muslim kepada orang kafir baik Kristen ataupun Yahudi adalah sah. Sehingga seluruh kaum Muslimin dari penduduk negara tersebut tertuntut untuk menaatinya.

Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada utusan musuh Islam. Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan : "Dua utusan Musailamah al-Kadzdzâb datang membawa surat Musailamah al-Kadzdzâb kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka adalah ‘Abdullah bin an-Nawâhah dan ibnu Atsâl. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada keduanya: “Seandainya bukan karena utusan itu tidak dibunuh, maka tentulah aku akan memenggal leher kalian berdua!” [8]

Ibnul Qayyim rahimahullah menambahkan lagi, “Di antara petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tidak menahan utusan apabila ia sudah memilih Islam. Penguasa kaum Muslimin tidak boleh menghalangi utusan tersebut untuk kembali ke kaumnya, bahkan penguasa kaum Muslimin harus mengembalikannya kepada kaum yang mengutusnya. Sebagaimana dijelaskan Abu Râfi’ dalam pernyataan beliau Radhiyallahu 'anhu : "Kaum Quraisy mengutusku menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika aku telah menemui beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, Islam masuk ke hatiku. Lalu aku berkata : Wahai Rasulullah, saya tidak ingin kembali kepada mereka." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menanggapi : "Aku tidak pernah melanggar janji dan menahan utusan. Kembalilah kepada mereka! Apabila yang ada di hatimu sekarang ini masih terus ada, maka kembalilah (kepada kami-red)”! .[9,10]

Oleh karena itu, dilarang membunuh dan mengganggu orang kafir yang masuk negara Islam dengan perlindungan dan perjanjian, seperti wisatawan asing, utusan dan duta besar yang ditempatkan di negara Islam. Karena, mereka masuk dengan visa dan perjanjian antar negara. Syaikh Shâlih bin Fauzân Ali Fauzân hafizhahullâh – salah seorang anggota Dewan Ulama Besar Saudi Arabia - menyatakan : "Apabila kita mengundang mereka untuk datang atau kita berikan perlindungan (al-amân), maka kita tidak boleh mencelakakan atau merugikan mereka. Kita wajib berlaku adil hingga mereka pergi dan menyelesaikan perjanjian mereka serta pulang ke negara mereka. Karena mereka masuk dengan perlindungan dan kita yang meminta dia untuk datang. Karena itulah, kita wajib memperlakukan mereka dengan adil, tidak menzhalimi mereka serta wajib memberikan hak-hak mereka. Sedangkan dalam masalah cinta, kita tidak boleh mencintai mereka. Namun kebencian kita kepada mereka tidak boleh menyeret kita untuk menzhalimi mereka atau mengurangi sedikit pun hak mereka atau mengganggu mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ

"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa" [al-Mâidah/5:8]

Namun di masa-masa yang akan datang, kita tidak mendatangkan mereka dan menggantikannya dengan para pekerja dari saudara-saudara kita kaum Muslimin. [11]

AHLI DZIMMAH
Golongan ketiga yaitu ahli dzimmah. Golongan inilah yang paling banyak memiliki hak atas kaum Muslimin dibandingkan dengan golongan sebelumnya. Karena mereka hidup di negara Islam dan di bawah perlindungan dan penjagaan kaum Muslimin dengan sebab upeti (jiz-yah) yang mereka bayarkan.

Dzimmah dalam pengertian para ulama syariat adalah membiarkan sebagian orang kafir berada dalam kekufurannya dengan syarat membayar jizyah (upeti) dan komitmen dengan hukum-hukum agama.[12]

Akad dzimmah ini diperbolehkan untuk Ahli kitab dan orang Majusi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari Kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk".[at-Taubah/9:29]

Dalam ayat di atas, jelaslah bahwa jizyah diambil dari ahli kitab yaitu Yahudi dan Nashrâni. Sedangakan orang Majusi juga ditariki jizyah, dengan dasar hadits ‘Abdurahman bin ‘Auf Radhiyallahu 'anhu yang menyatakan :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَهَا مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ

"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengambil jizyah dari Majusi Hajar".[13]

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan : "Para Ulama ahli fikih telah berijma’ bahwa jizyah (upeti) diambil dari Ahli kitab dan orang dari Majusi.[14]

HUKUM SEPUTAR AHLI DZIMMAH
Akad ini hanya boleh dilakukan oleh pemerintah atau wakilnya, seperti para panglima perang atau orang yang memang ditugaskan menangani hal tersebut. Karena akad dzimmah banyak memiliki konsekwensi hukum, berbeda dengan pemberian jaminan keamanan (al-amân). Disamping juga, akad dzimmah ini bersifat terus menerus dan tidak terbatas oleh waktu tertentu.

Akad ini diwujudkan oleh pemerintah Islam apabila memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Ahli Dzimmah komitmen dan terus membayar upeti (jizyah) setiap tahun.
b. Mereka tidak boleh menjelek-jelekkan Islam sedikit pun
c. Tidak melakukan sesuatu yang merugikan dan membahayakan kaum Muslimin.
d. Mereka tunduk dengan semua aturan dan hukum Islam [15]

Diantara konsekwensi akad dzimmah ini adalah: [16]
1. Dilarang membunuh, menyakiti dan mengambil harta mereka dengan semena-mena.
2. Wajib bagi pemerintah kaum Muslimin untuk menjaga dan melindungi mereka serta tidak mengganggu mereka.
3. Wajib bagi pemerintah kaum Muslimin untuk menerapkan hukum Islam pada jiwa, harta dan kehormatan mereka.
4. Wajib bagi pemerintah Islam untuk menegakkan had (hukuman) atas mereka dalam semua yang mereka yakini haram.
5. Wajib bagi ahli dzimmah untuk tampil beda dengan kaum Muslimin dalam berpakaian dan tidak boleh menampakkan sesuatu yang dianggap sebagai kemungkaran dalam Islam, meskipun sedikit atau menampakkan sesuatu yang menjadi syiar agama mereka seperti salib dan sebagainya.
6. Kaum Muslimin dilarang menyerupai mereka (at-tasyabbuh) dan tidak boleh berdiri menyambut mereka serta mendahulukan mereka untuk berbicara di depan majelis kaum Muslimin.
7. Kaum Muslimin dilarang mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka, mengucapkan selamat kepada hari raya mereka dan bertakziyah kepada mereka
8. Kaum Muslimin diperbolehkan menjenguk ahli dzimmah yang sakit untuk satu kemaslahatan. (al-mashlahat ar-râjihah)

Demikian sekilas tentang pengelompokan orang-orang kafir dan hak-hak mereka dalam pemerintahan Islam. Mudah-mudahan bermanfaat. Wabillahi taufiq.

Referensi:
1. Ahkâm Ahli Dzimmah, Ibnul Qayyim, Tahqîq Yusuf ahmad al-Bakri dan Syakir Taufiq, cetakan pertama 1418 H, penerbit Ramâdi
2. as-Siyâsah asy-Syar’iyah Fi Ishlâh ar-Râ’i wa ar-Râ’iyah, Ibnu Taimiyah. Tahqîq Abdullah bin Muhammad al-Maghribi, cetakan pertama tahun 1406 H, Dâr al-Arqâm
3. Syarhu al-Mumti’ ‘alâ Zâd al-Mustaqni’ , Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn. Tahqîq Khâlid bin Ali al-Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1417 H , Muassasah Aasâm.
4. Huqûqun Da’at Ilaihâ al-Fithrah Wa Qarrarahâ asy-Syari’ah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, cetakan : Pertama, tahun 1427 H , Madâr al-Wathan
5. Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, Dirâsât Mu’asharah Fi al-Aqîdah wa al-Ahkâm wa al-Adâb, Abdurrahman bin Abdilkarim al-‘Ubaid, Jum’iyah Ihyâ at-Turâts
6. Zâd al-Ma’âd Fi Hadyi Khairil ‘Ibâd, Ibnul Qayyim, Tahqîq Syu’aib al-Arnauth dan Abdil Qadir al-Arna`uth. Cetakan ke 2 tahun 1421 H , Muassasah ar-Risâlah.
7. Dan lain-lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/Shafar 1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Zâd al-Ma’âd (3/145)
[2]. Huqûq Da’at Ilaihâ al-Fithrah Wa Qarrarahâ asy-Syari’at, Ibnu ‘Utsaimîn hal 16
[3]. Lihat matan Zâd al-Mustaqni’ dalam kitab Syarhu al-Mumti’ 8/27.
[4]. Lihat Syarhu al-Mumti’ 8/27 secara ringkas.
[5]. as-Siyâsah asy-Syar’iyyah Fî Islâhi ar-Râ’i wa ar-Râ’iyah, Ibnu Taimiyah hlm. 165-166
[6]. Huqûqun Da’at Ilaihâ al-Fithrah, hlm. 26
[7]. HR Muslim no. 2344
[8]. HR Abu Daud no. 2761 dan dinilai hasan lighairihi oleh Syaikh Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqîq Zâd al-Ma’âd (3/126)
[9]. HR Imam Muslim no. 1787
[10]. Zâd al-Ma’âd (3/127)
[11]. al-Muntaqâ` min Fatâwâ Syaikh Shâlih al-Fauzân (1/252)
[12]. Raudh al-Murbi’ (4/303)
[13]. HR al-Bukhâri no. 3157
[14]. Ahkâm Ahli adz-Dzimmah, Ibnu al-Qayyim (1/79)
[15]. Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, hlm. 449
[16]. Diambil dari Huqûqun Da’at Ilaihâ al-Fithrah, hlm. 26 dan Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, hlm. 449-450‎

Oleh
Ustadz Kholid Syamhudi

Ketika kekhilafahan Islam dan hukum Islam ditinggalkan, maka banyak sekali hak dan kewajiban yang terlantar dan disalahartikan. Sikap dan tindakan yang melanggar syariat dianggap bagian dari syariat, terutama yang berhubungan dengan orang kafir. Ada yang beranggapan, orang kafir seluruhnya sama, wajib diperangi, tidak boleh diberi perlindungan dan keamanan. Sebaliknya, ada juga yang menganggap semua orang kafir itu memiliki hak-hak yang sama dengan kaum Muslimin. Kedua anggapan ini tidak bisa dibenarkan. Anggapan pertama akan menyeret kepada perbuatan zhalim, padahal Islam mengajarkan keadilan dan mengharamkan perbuatan zhalim kepada siapapun juga. Sedangkan pandangan kedua akan melunturkan dan mengikis sifat wala’ (loyalitas dan kesetiaan kepada kaum Muslimin) dan bara’ (berlepas diri dari semua orang kafir) dari hati kaum Muslimin.

Lalu bagaimanakah seharusnya kita berhubungan dengan orang-orang kafir itu ? Apakah mereka disikapi sama ?

KEINDAHAN DAN KEADILAN ISLAM
Islam melarang umatnya melakukan pembunuhan tanpa alasan yang haq (dibenarkan). Allah Azza wa Jalla berfirman:

أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الْأَرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا

"Sesungguhnya barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya".[al-Mâidah/5:32]

Juga firman-Nya:

وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ

"Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan suatu (sebab) yang benar" [al-‘An’âm/6:151]

Kata "jiwa" dalam ayat di atas bersifat umum mencakup jiwa Muslim dan non muslim. Semuanya haram dibunuh kecuali dengan alasan yang dibenarkan syariat, misalnya tindak pembunuhan yang dilakukannya. Jika alasan yang dibenarkan ini ada pada seseorang, maka syariat memperbolehkan membunuhnya sebagai hukuman atas perbuatan yang dilakukannya. Syariat tidak pernah memberikan izin, apalagi memerintahkan membunuh satu jiwa dengan sebab kejahatan yang dilakukan orang lain. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَىٰ

"Dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain" [al-Isrậ'/17:15]

Inilah Islam, sebuah dîn (ajaran agama) yang dibangun di atas dasar keadilan dan memerintahkan umatnya untuk senantiasa berbuat adil.

ORANG KAFIR DAN HAK MEREKA.
Para ulama membagi orang kafir menjadi tiga kategori:
1. Orang kafir harbi (al-muhâribîn)
2. Orang kafir yang memiliki perjanjian dengan kaum Muslimin (ahlu al-‘ahd)
3. Orang kafir ahlu dzimmah (adz-dzimmi)

Imam Ibnu al-Qayyim rahimahullah mengatakan : "Setelah surat Barâ`ah (at-Taubah) turun, masalah orang kafir terbagi menjadi tiga golongan : kafir harbi (al-muhâribîn), ahlu al-‘ahd dan ahlu adz-dzimmah.[1]

KAFIR HARBI.
Orang kafir harbi adalah seluruh orang musyrik dan Ahli kitab yang boleh diperangi atau semua orang kafir yang menampakkan permusuhan dan menyerang kaum Muslimin.

Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimîn rahimahullah menyatakan : "Kafir harbi tidak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan dari kaum Muslimin." [2]

Mereka adalah orang kafir asli yang diperangi Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

أُمِرْتُ أَنْ أُقَاتِلَ النَّاسَ حَتَّى يَشْهَدُوا أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَيُقِيمُوا الصَّلَاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ فَإِذَا فَعَلُوا ذَلِكَ عَصَمُوا مِنِّي دِمَاءَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ إِلَّا بِحَقِّ الْإِسْلَامِ وَحِسَابُهُمْ عَلَى اللَّهِ

"Aku diperintahkan untuk memerangi manusia hingga bersaksi bahwa tidak ada yang berhak diibadahi dengan benar kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Apabila mereka telah melakukannya, berarti mereka telah menjaga jiwa dan harta mereka dariku (Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam) kecuali dengan (alasan-red) hak Islam serta hisab mereka diserahkan kepada Allah" [HR al-Bukhâri]

Golongan ini diperangi, apabila ia atau negaranya telah menampakkan atau menyatakan perang terhadap kaum Muslimin atau kaum Muslimin terlebih dahulu mengumumkan perang terhadap mereka setelah orang-orang kafir ini menolak ajakan kepada Islam.

Perlu diketahui, tidak semua kafir harbi diperangi. Dalam banyak hadits, Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam melarang membunuh orang yang tidak ikut perang seperti anak-anak, wanita, orang-orang jompo, lumpuh, banci, pendeta dan orang buta. Kemudian Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah menjelaskan bahwa tujuh golongan ini tidak boleh dibunuh kecuali dengan salah satu dari tiga sebab berikut :
a. Mereka memiliki peran pemikiran dan pengaturan strategi
b. Apabila mereka ikut berperang
c. Memberikan dorongan semangat kepada para tentara musuh untuk berperang.[4]

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menyatakan: "Apabila hukum asal dari peperangan yang disyariatkan itu adalah jihad dan tujuannya adalah menjadikan agama ini seluruhnya untuk Allah Azza wa Jalla dan meninggikan kalimat Allah Azza wa Jalla sehingga menjadi yang tertinggi, maka orang yang menghalang-halangi harus diperangi. Sementara orang yang tidak memiliki kekuatan untuk menghalangi atau berperang, seperti wanita, anak-anak, pendeta (rahib), orang jompo, buta dan lumpuh serta sejenisnya, mereka ini tidak boleh dibunuh menurut jumhur Ulama, kecuali jika mereka ikut andil dalam peperangan, baik dengan perkataan atau perbuatannya. Walaupun sebagian Ulama ada yang memandang boleh membunuh secara keseluruhan disebabkan kekufuran mereka semata kecuali wanita dan anak-anak karena mereka adalah harta (ghanimah) bagi kaum Muslimin. (Tapi) pendapat yang benar adalah pendapat pertama.[5]

ORANG KAFIR HARBI YANG MENDAPATKAN JAMINAN KEAMANAN
Golongan ini terbagi menjadi dua yaitu yang minta suaka atau perlindungan keamanan (al-musta`min) dan yang memiliki perjanjian damai yang disepakati (al-mu’âhad).

Syaikh Ibnu ‘Utsaimîn rahimahullah menyatakan: "al-musta’minûn memiliki hak mendapat perlindungan dari kaum Muslimin dalam waktu dan tempat yang telah ditentukan, berdasarkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :

وَإِنْ أَحَدٌ مِنَ الْمُشْرِكِينَ اسْتَجَارَكَ فَأَجِرْهُ حَتَّىٰ يَسْمَعَ كَلَامَ اللَّهِ ثُمَّ أَبْلِغْهُ مَأْمَنَهُ

"Dan jika salah seorang kaum musyirikin itu meminta perlindungan kepadamu, maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke tempat yang aman baginya" [at-Taubah/9:6]

Sedangkan al-mu’âhad, mereka berhak mendapatkan pelaksanaan perjanjian dari kita dalam waktu yang sudah disepakati, selama mereka tetap berpegang pada janji mereka tanpa menyalahinya sedikitpun, tidak membantu musuh yang menyerang kita serta tidak mencela agama kita. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

إِلَّا الَّذِينَ عَاهَدْتُمْ مِنَ الْمُشْرِكِينَ ثُمَّ لَمْ يَنْقُصُوكُمْ شَيْئًا وَلَمْ يُظَاهِرُوا عَلَيْكُمْ أَحَدًا فَأَتِمُّوا إِلَيْهِمْ عَهْدَهُمْ إِلَىٰ مُدَّتِهِمْ ۚ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَّقِينَ

"Kecuali orang-orang musyirikin yang kamu mengadakan perjanjian (dengan mereka) dan mereka tidak mengurangi sesuatupun (dari isi perjanjian)mu dan tidak (pula) mereka membantu seseorang yang memusuhi kamu, maka terhadap mereka itu penuhilah janjinya sampai batas waktunya. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaqwa" [at-Taubah/9:4]

Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala

وَإِنْ نَكَثُوا أَيْمَانَهُمْ مِنْ بَعْدِ عَهْدِهِمْ وَطَعَنُوا فِي دِينِكُمْ فَقَاتِلُوا أَئِمَّةَ الْكُفْرِ ۙ إِنَّهُمْ لَا أَيْمَانَ

"Jika mereka merusak sumpah (janji)nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya" [at-Taubah/9:12] [6]

Tentang pemberian keamanan ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

وَذِمَّةُ الْمُسْلِمِينَ وَاحِدَةٌ يَسْعَى بِهَا أَدْنَاهُمْ

"Perlindungan kaum Muslimin (terhadap orang kafir) adalah sama walaupun jaminan itu diberikan oleh kaum Muslimin yang paling rendah" [7]

Dalam hadits ini terdapat petunjuk bahwa hak perlindungan kepada non Muslim boleh diberikan oleh seorang Muslim. Apabila syarat-syarat pemberian perlindungan telah terpenuhi, maka perlindungan yang diberikan oleh seorang Muslim memiliki kekuatan yang sama dengan perlindungan yang diberikan penguasa muslim. Atas dasar ini, maka pemberian perlindungan seorang Muslim secara pribadi atau penguasa Muslim kepada orang kafir baik Kristen ataupun Yahudi adalah sah. Sehingga seluruh kaum Muslimin dari penduduk negara tersebut tertuntut untuk menaatinya.

Demikianlah yang dilakukan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kepada utusan musuh Islam. Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan : "Dua utusan Musailamah al-Kadzdzâb datang membawa surat Musailamah al-Kadzdzâb kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka adalah ‘Abdullah bin an-Nawâhah dan ibnu Atsâl. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata kepada keduanya: “Seandainya bukan karena utusan itu tidak dibunuh, maka tentulah aku akan memenggal leher kalian berdua!” [8]

Ibnul Qayyim rahimahullah menambahkan lagi, “Di antara petunjuk Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam adalah tidak menahan utusan apabila ia sudah memilih Islam. Penguasa kaum Muslimin tidak boleh menghalangi utusan tersebut untuk kembali ke kaumnya, bahkan penguasa kaum Muslimin harus mengembalikannya kepada kaum yang mengutusnya. Sebagaimana dijelaskan Abu Râfi’ dalam pernyataan beliau Radhiyallahu 'anhu : "Kaum Quraisy mengutusku menemui Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Ketika aku telah menemui beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, Islam masuk ke hatiku. Lalu aku berkata : Wahai Rasulullah, saya tidak ingin kembali kepada mereka." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam menanggapi : "Aku tidak pernah melanggar janji dan menahan utusan. Kembalilah kepada mereka! Apabila yang ada di hatimu sekarang ini masih terus ada, maka kembalilah (kepada kami-red)”! .[9,10]

Oleh karena itu, dilarang membunuh dan mengganggu orang kafir yang masuk negara Islam dengan perlindungan dan perjanjian, seperti wisatawan asing, utusan dan duta besar yang ditempatkan di negara Islam. Karena, mereka masuk dengan visa dan perjanjian antar negara. Syaikh Shâlih bin Fauzân Ali Fauzân hafizhahullâh – salah seorang anggota Dewan Ulama Besar Saudi Arabia - menyatakan : "Apabila kita mengundang mereka untuk datang atau kita berikan perlindungan (al-amân), maka kita tidak boleh mencelakakan atau merugikan mereka. Kita wajib berlaku adil hingga mereka pergi dan menyelesaikan perjanjian mereka serta pulang ke negara mereka. Karena mereka masuk dengan perlindungan dan kita yang meminta dia untuk datang. Karena itulah, kita wajib memperlakukan mereka dengan adil, tidak menzhalimi mereka serta wajib memberikan hak-hak mereka. Sedangkan dalam masalah cinta, kita tidak boleh mencintai mereka. Namun kebencian kita kepada mereka tidak boleh menyeret kita untuk menzhalimi mereka atau mengurangi sedikit pun hak mereka atau mengganggu mereka. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

وَلَا يَجْرِمَنَّكُمْ شَنَآنُ قَوْمٍ عَلَىٰ أَلَّا تَعْدِلُوا ۚ اعْدِلُوا هُوَ أَقْرَبُ لِلتَّقْوَىٰ

"Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa" [al-Mâidah/5:8]

Namun di masa-masa yang akan datang, kita tidak mendatangkan mereka dan menggantikannya dengan para pekerja dari saudara-saudara kita kaum Muslimin. [11]

AHLI DZIMMAH
Golongan ketiga yaitu ahli dzimmah. Golongan inilah yang paling banyak memiliki hak atas kaum Muslimin dibandingkan dengan golongan sebelumnya. Karena mereka hidup di negara Islam dan di bawah perlindungan dan penjagaan kaum Muslimin dengan sebab upeti (jiz-yah) yang mereka bayarkan.

Dzimmah dalam pengertian para ulama syariat adalah membiarkan sebagian orang kafir berada dalam kekufurannya dengan syarat membayar jizyah (upeti) dan komitmen dengan hukum-hukum agama.[12]

Akad dzimmah ini diperbolehkan untuk Ahli kitab dan orang Majusi. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

قَاتِلُوا الَّذِينَ لَا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَلَا بِالْيَوْمِ الْآخِرِ وَلَا يُحَرِّمُونَ مَا حَرَّمَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ وَلَا يَدِينُونَ دِينَ الْحَقِّ مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ حَتَّىٰ يُعْطُوا الْجِزْيَةَ عَنْ يَدٍ وَهُمْ صَاغِرُونَ

"Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) pada hari Kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk".[at-Taubah/9:29]

Dalam ayat di atas, jelaslah bahwa jizyah diambil dari ahli kitab yaitu Yahudi dan Nashrâni. Sedangakan orang Majusi juga ditariki jizyah, dengan dasar hadits ‘Abdurahman bin ‘Auf Radhiyallahu 'anhu yang menyatakan :

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَهَا مِنْ مَجُوسِ هَجَرَ

"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah mengambil jizyah dari Majusi Hajar".[13]

Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan : "Para Ulama ahli fikih telah berijma’ bahwa jizyah (upeti) diambil dari Ahli kitab dan orang dari Majusi.[14]

HUKUM SEPUTAR AHLI DZIMMAH
Akad ini hanya boleh dilakukan oleh pemerintah atau wakilnya, seperti para panglima perang atau orang yang memang ditugaskan menangani hal tersebut. Karena akad dzimmah banyak memiliki konsekwensi hukum, berbeda dengan pemberian jaminan keamanan (al-amân). Disamping juga, akad dzimmah ini bersifat terus menerus dan tidak terbatas oleh waktu tertentu.

Akad ini diwujudkan oleh pemerintah Islam apabila memenuhi syarat-syarat berikut :
a. Ahli Dzimmah komitmen dan terus membayar upeti (jizyah) setiap tahun.
b. Mereka tidak boleh menjelek-jelekkan Islam sedikit pun
c. Tidak melakukan sesuatu yang merugikan dan membahayakan kaum Muslimin.
d. Mereka tunduk dengan semua aturan dan hukum Islam [15]

Diantara konsekwensi akad dzimmah ini adalah: [16]
1. Dilarang membunuh, menyakiti dan mengambil harta mereka dengan semena-mena.
2. Wajib bagi pemerintah kaum Muslimin untuk menjaga dan melindungi mereka serta tidak mengganggu mereka.
3. Wajib bagi pemerintah kaum Muslimin untuk menerapkan hukum Islam pada jiwa, harta dan kehormatan mereka.
4. Wajib bagi pemerintah Islam untuk menegakkan had (hukuman) atas mereka dalam semua yang mereka yakini haram.
5. Wajib bagi ahli dzimmah untuk tampil beda dengan kaum Muslimin dalam berpakaian dan tidak boleh menampakkan sesuatu yang dianggap sebagai kemungkaran dalam Islam, meskipun sedikit atau menampakkan sesuatu yang menjadi syiar agama mereka seperti salib dan sebagainya.
6. Kaum Muslimin dilarang menyerupai mereka (at-tasyabbuh) dan tidak boleh berdiri menyambut mereka serta mendahulukan mereka untuk berbicara di depan majelis kaum Muslimin.
7. Kaum Muslimin dilarang mengucapkan salam terlebih dahulu kepada mereka, mengucapkan selamat kepada hari raya mereka dan bertakziyah kepada mereka
8. Kaum Muslimin diperbolehkan menjenguk ahli dzimmah yang sakit untuk satu kemaslahatan. (al-mashlahat ar-râjihah)

Demikian sekilas tentang pengelompokan orang-orang kafir dan hak-hak mereka dalam pemerintahan Islam. Mudah-mudahan bermanfaat. Wabillahi taufiq.

Referensi:
1. Ahkâm Ahli Dzimmah, Ibnul Qayyim, Tahqîq Yusuf ahmad al-Bakri dan Syakir Taufiq, cetakan pertama 1418 H, penerbit Ramâdi
2. as-Siyâsah asy-Syar’iyah Fi Ishlâh ar-Râ’i wa ar-Râ’iyah, Ibnu Taimiyah. Tahqîq Abdullah bin Muhammad al-Maghribi, cetakan pertama tahun 1406 H, Dâr al-Arqâm
3. Syarhu al-Mumti’ ‘alâ Zâd al-Mustaqni’ , Syaikh Muhammad bin Shâlih al-Utsaimîn. Tahqîq Khâlid bin Ali al-Musyaiqih, cetakan pertama tahun 1417 H , Muassasah Aasâm.
4. Huqûqun Da’at Ilaihâ al-Fithrah Wa Qarrarahâ asy-Syari’ah, Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn, cetakan : Pertama, tahun 1427 H , Madâr al-Wathan
5. Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, Dirâsât Mu’asharah Fi al-Aqîdah wa al-Ahkâm wa al-Adâb, Abdurrahman bin Abdilkarim al-‘Ubaid, Jum’iyah Ihyâ at-Turâts
6. Zâd al-Ma’âd Fi Hadyi Khairil ‘Ibâd, Ibnul Qayyim, Tahqîq Syu’aib al-Arnauth dan Abdil Qadir al-Arna`uth. Cetakan ke 2 tahun 1421 H , Muassasah ar-Risâlah.
7. Dan lain-lainnya.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XII/Shafar 1430H/2009. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
_______
Footnote
[1]. Zâd al-Ma’âd (3/145)
[2]. Huqûq Da’at Ilaihâ al-Fithrah Wa Qarrarahâ asy-Syari’at, Ibnu ‘Utsaimîn hal 16
[3]. Lihat matan Zâd al-Mustaqni’ dalam kitab Syarhu al-Mumti’ 8/27.
[4]. Lihat Syarhu al-Mumti’ 8/27 secara ringkas.
[5]. as-Siyâsah asy-Syar’iyyah Fî Islâhi ar-Râ’i wa ar-Râ’iyah, Ibnu Taimiyah hlm. 165-166
[6]. Huqûqun Da’at Ilaihâ al-Fithrah, hlm. 26
[7]. HR Muslim no. 2344
[8]. HR Abu Daud no. 2761 dan dinilai hasan lighairihi oleh Syaikh Syu’aib al-Arna`uth dalam tahqîq Zâd al-Ma’âd (3/126)
[9]. HR Imam Muslim no. 1787
[10]. Zâd al-Ma’âd (3/127)
[11]. al-Muntaqâ` min Fatâwâ Syaikh Shâlih al-Fauzân (1/252)
[12]. Raudh al-Murbi’ (4/303)
[13]. HR al-Bukhâri no. 3157
[14]. Ahkâm Ahli adz-Dzimmah, Ibnu al-Qayyim (1/79)
[15]. Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, hlm. 449
[16]. Diambil dari Huqûqun Da’at Ilaihâ al-Fithrah, hlm. 26 dan Ushûl al-Manhaj al-Islâmi, hlm. 449-450

KRISTEN - YAHUDI


Dimasa lalu, umat Israel adalah umat yang mendapat karunia dari Allah, dibebaskan dari perbudakan Mesir, diberikan tanah yang aman dan baik, dan di Israel-lah para Nabi banyak dilahirkan Allah. Dimasa lalu juga, Israel merupakan bangsa yang terkenal mencetak rekor membunuh para Nabi dan Rasul Allah, keras dalam kekafiran, dan sifat yang bebal serta tegar tengkuk membuat mereka begitu mudah masuk dalam kemusyrikan dan begitu sulit mendapat hidayah.

Tidak heran kebanyakan Nabi yang dilahirkan di Israel mati ditangan umatnya sendiri, seorang Nabi yang pernah diutus ketengah Israel untuk menyadarkan mereka, hanya beberapa hari saja ditinggal pergi, mereka kembali lagi menyembah berhala patung dan menyekutukan Allah serta menjadi musuh Nabi tersebut kembali. Begitu juga dengan Nabi yang hampir mati disalib dengan keji oleh umat Israel atau Yahudi hanya karena ketidak sukaan terhadap pengajarannya. Wajar Allah berfirman dalam Al-Qur'an bahwa orang yang paling keras permusuhannya terhadap orang-orang yang beriman ialah orang-orang Yahudi (Baca QS. Al-Maaidah' 5:82 ).

Selain itu, umat Israel juga mengklaim sebagai bangsa pilihan yang diberkati Tuhan, dan anehnya pemahaman ini bukan hanya milik mereka sendiri, tetapi juga suatu umat yang entah karena apa rela berkorban apa saja untuk Israel dan menjadi semacam peliharaan yang akan melakukan apa saja demi tuannya, melupakan masa lalu kelam tentang sesembahannya, umat tersebut adalah Kristen.
Kristen mengagungkan bangsa Israel dari segala sisi, mengatakan Israel pasti selalu meraih kemenangan sehingga dari tangan Kristen bantuan akan selalu berdatangan untuk Israel, meskipun pandangan bangsa Israel-Yahudi terhadap Kristen begitu bertolak belakang dari pandangan Kristen terhadap mereka.

Lalu sebenarnya, apa yang menyebabkan penghambaan Kristiani terhadap Israel-Yahudi? Apakah mereka tidak tahu bahwa akidah Zionisme menjadikan Israel-Yahudi memandang mereka sebagai binatang? Apakah
mereka tidak tahu kalau doktrin Talmud mengharuskan Israel-Yahudi untuk menghujat Yesus, Perjanjian Baru, serta keyakinan Kristen lainnya?
Apakah mereka tidak tahu bahwa umat Israel-Yahudi sejak kecil telah memiliki keyakinan bahwa Yesus adalah seorang penyihir terkutuk yang lahir dari hasil perzinahan? Benarkah Israel tercatat sebagai bangsa pilihan Tuhan dalam kitab suci, atau lagi-lagi ini hanyalah sebuah doktrin menyesatkan yang ditanam Gereja sejak mereka masih kecil?

“Katakan : “Bila khusus hanya untuk kalian saja negeri Akhirat yang ada di sisi Allah, bukan untuk manusia yang lain, maka inginkanlah kematian bila kalian memang orang-orang yang benar !” Mereka sekali-kali tidak akan pernah menginginkan kematian itu selama-lamanya karena kesalahan-kesalahan yang telah mereka perbuat, dan Allah Maha Mengetahui terhadap orang-orang yang berbuatan zhalim.” ( Qs. Al-Baqoroh : 94 – 95 )

“Mereka berkata : “Tidak akan pernah bisa masuk syurga kecuali orang-orang yang beragama Yahudi atas Nashrani.” ( Qs. Al-Baqoroh : 111 )

Sabtu, 19 April 2014

Yesus Anak Tunggal Allah ??


Keluaran 4:22 dikatakan bahwa Israel adalah anak sulung Allah, dan dalam Yeremia 31:9 dikatakan bahwa Efraim adalah anak sulung Allah. Jadi, bagaimana mungkin Yesus disebut sebagai anak tunggal Allah? Lebih jauh, kata "tunggal" juga terdapat dalam Ibrani 11:17 yang mengacu kepada Ishak. Sementara itu, Alkitab sendiri menjelaskan bahwa kakak Ishak, Ismael, hidup lebih lama daripada ayahnya (Kejadian 25:9). Dengan demikian, Ishak tidak pernah secara tegas mengatakan dirinya sebagai anak tunggal Abraham. Sadar akan kejanggalan ini, sarjana Kristen tidak menafsirkan kata tersebut secara harfiah. Namun, mengapa hal itu tidak mereka terapkan juga pada Yohanes 3:16? Sekali lagi, sikap mendua ini membuktikan bahwa Yohanes 3:16 

"1. Ketika manusria itu mulai bertambah banyak jumlahnya di muka bumi, dan bagi mereka lahir anak-anak perempuan, 2. maka anak-anak Allah melihat, bahwa anak-anak perempuan manusia itu cantik¬-cantik, lalu mereka mengambil istri dari antara perempuan-perempuan itu, siapa saja yang disukai mereka. 3. Berfirmanlah Tuhan: "Roh-Ku tidak akan selama-lamanya tinggal di dalam manusia, karena manusia itu adalah daging, tetapi umurnya akan seratus dua puluh tahun saja. " 4. Pada waktu itu orang-orang raksasa ada di bumi, dan juga pada waktu sesudahnya, ketika anak-anak Allah menghampiri anak-anak perempuan manusia, dan perempuan perempuan itu melahirkan anak bagi mereka; inilah orang-orang yang gagah perkasa di zaman purba kala, orang-orang yang kenamaan. (Kejadian, 6: 1 - 4). 

"9. Dengan menangis mereka akan datang, dengan hiburan aku akan membawa mereka; Aku akan memimpin mereka ke sungai-sungai, di jalan yang rata, dlmana mereka tidak akan tersandung; sebab Aku telah menjadi bapa Israel, Efraim adalah anak sulung-Ku. (Yeremia, 31: 9). 

"14. Semua orang, yang dipimpin oleh Roh Allah, adalah anak Allah. (Surat Paulus Kepada Jemaat di Roma, 8: 14). 
1. “Maka engkau harus berkata kepada Firaun: Beginilah firman TUHAN: Israel ialah anakku, anakKu yang sulung” (Keluaran 4:22). 
2. “Kamulah anak-anak TUHAN, Allahmu” (Ulangan 14:1). 
3. “Bapa bagi anak yatim dan Pelindung bagi para janda, itulah Allah di kediamanNya yang kudus” (Mazmur 68:6). 
4. “Dialah yang akan mendirikan rumah bagi namaKu dan dialah yang akan menjadi anakKu dan Aku akan menjadi bapaNya; Aku akan mengokohkan takhta kerajaannya atas Israel sampai selama-lamanya”. (II Samuel 7:13,14). 
5. “Aku telah memilih dia menjadi anakKu dan Aku akan menjadi bapanya” (I Tawarikh 28:6 dan 22:10). 
6. “Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah.” (Matius 5:19). 
7. “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar.” (Matius 5:45). 
8. “Dan janganlah kamu menyebut siapa pun bapa di bumi ini, karena hanya satu Bapa, yaitu Dia yang di sorga.” (Matius 23:9). 
9. “Setiap orang yang percaya, bahwa Yesus adalah Kristus, lahir dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi Dia yang melahirkan, mengasihi juga Dia yang lahir dari padaNya” (I Yohanes 5:1). 
10. “Anak Enos, anak Set, anak Adam, anak Allah.” (Lukas 3:38). 
11. “Kita ini dari keturunan Allah juga” (Kisah Rasul-Rasul 17:28). 
12. “Semua orang, yang dipimpin Roh Allah, adalah anak Allah” (Roma 8:14). 
13. “Roh itu bersaksi bersama-sama dengan roh kita, bahwa kita adalah anak-anak Allah” (Roma 8:14) 
14. “Dan bukan untuk bangsa itu saja, tetapi juga untuk mengumpulkan dan mempersatukan anak-anak Allah yang tercerai berai” (Yohanes 11:52) 
15. “Sebab semua orang yang dipilihNya dari semula, mereka juga ditentukannya dari semula untuk menjadi serupa dengan gambaran AnakNya, supaya ia, Anaknya itu, menjadi yang sulung di antara banyak saudara” (Roma 8:29) 
16. “Tidak tahukah kamu, bahwa kamu adalah bait Allah dan bahwa Roh Allah diam di dalam kamu?” (I Korintus 3:16) 
17. “Dan Aku akan menjadi Bapamu, dan kamu akan menjadi anak-anakKu laki-laki dan anak-anakKu perempuan” (II Korintus 6:18) 
18. “Anak-anak Allah yang hidup” (Hosea 1:10) 
19. “Aku telah menjadi bapa Israel, Efrain adalah anak sulungKu” (Yeremia 31:9)


Karena itu jelas bahwa “Anak Allah” yang tersebut dalam Alkitab itu, tidak berarti anak Allah yang sebenarnya melainkan maksudnya ialah kekasih Allah, atau mereka yang taat kepada perintah-perintah Tuhan. 
Dalam bahasa Ibrani kata “Bapa” itu dipakai buat Tuhan, sedangkan kata “anak” dipakai buat mereka yang dihormati, seperti para Nabi, para Rasul. Coba buka di “Matius” pasal 5 ayat 9 di sini disebutkan : “Berbahagialah segala orang yang mendamaikan karena mereka itu akan disebut anak Allah”. 

Jelas, siapa saja mendamaikan manusia akan disebut atau akan menjabat “Anak Allah”, kalau begitu anak Allah itu ratusan, ribuan, malah mungkin jutaan orang, jadi bukan Yesus saja.

Menjawab Fitnah "Maryam Saudara Harun" (QS Maryam (19) : 27 - 28)


Seorang pendeta senior yang mengklaim dirinya peneliti alkitab berusaha memaksakan hipotesisnya tentang anakronisme dalam Quran pada surat Maryam ayat 28.

Untuk referensi pembaca ini tulisan Pdt. Teguh hindarto (selanjutnya saya sebut Pdt. TH): teguhhindarto.blogspot.com/2011/12/diskusi-shem-tov-dan-jp-jones-perihal.html

Ini ayat yang dipermasalahkan,
فَأَتَتْ بِهِ قَوْمَهَا تَحْمِلُهُ قَالُوا يَا مَرْيَمُ لَقَدْ جِئْتِ شَيْئًا فَرِيًّا
يَا أُخْتَ هَارُونَ مَا كَانَ أَبُوكِ امْرَأَ سَوْءٍ وَمَا كَانَتْ أُمُّكِ بَغِيًّا

Maka Maryam membawa anak itu kepada kaumnya dengan menggendongnya. Kaumnya berkata: “Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina”

Pdt TH menuduh dengan instan bahwa telah terjadi anakronisme karena pada ayat tersebut karena Maryam bunda Isa as. disebut ukhta Harun, saudara perempuan Harun. Padahal, Maryam hidup jauh setelah harun, dan keliru dengan Miryam saudara perempuan Harun pada Keluaran 15:20. Pdt TH juga membawakan surat At Tahrim ayat 12 yang menyebut Maryam binti Imran dimana dalam Bilangan 26:59 ayah Miryam adalah Amram. Kemiripan nama ini dianggap secara instan oleh Pdt. TH sebagai anakronisme. Kenapa instan? Karena hanya didasarkan pada asumsi dan persepsi pribadi dan mengabaikan bukti lainnya dari sisi historis Quran, tafsirnya hingga tradisibahasa semitik.

Asumsi yang digunakan Pdt TH adalah sangat sederhana “kemiripan nama”. Asumsi sederhana ini membawa pada kesimpulan “(Allah/Muhammad) keliru menyitir Tanakh kitab keluaran dan bilangan” sebagai bukti anakronisme quran yang tak terbantahkan.
Bantahannya adalah sebagai berikut:

1. Muhammad SAW SUDAH TAHU bahwa Maryam dan Harun tidak sezaman.
Muhammad shallallahu alahi wassalam sudah tahu sejak awal bahwa Maryam ibunda Isa as. hidup pada zaman setelah zaman Harun. Maka tidak mungkin beliau menyitir/merujuk pada Tanakh kitab Keluaran dan Bilangan secara langsung maupun tidak langsung. Tidak ada pemahaman rasulullah bhawa “ukhta Harun” itu bermakna saudara secara kandung.

Berikut (terjemahan) hadits riwayat bukhari dengan derajat shahih,
Ketika aku datang ke Najran, mereka (orang Kristen Najran) bertanya padaku: Kamu membaca “Yaa ukhta Haarun” (Hai,saudara perempuan Harun -Maryam-) dalam Qur’an, sedangkan Musa dilahirkan jauh sebelum Yesus. Ketika aku kembali kepada Rasulullah, aku bertanya tentang hal itu, kemudian Nabi menjawab: Mereka (masyarakat zaman lampau) dulu biasa memberi nama menurut nama-nama Nabi dan orang-orang saleh yang telah wafat sebelum mereka.

Fakta yang bisa diambil dari kisah ini adalah:
– Kristen pada zaman itu sudah mempertanyakan hal tersebut, dan telah dijawab pada masa yang sama
– Frase “sebelum mereka” menunjukkan bahwa Muhammad memahami ayat tersebut dengan pemahaman bahwa Maryam hidup setelah

Harun dan tentu saja bukan bermakna saudara kandung
– Muhammad SAW mengetahui tradisi semitik mengenai penyebutan nama

Dari sini saja tuduhan anakronisme dalam Quran sudah gugur bahkan sebelum pertanyaan Pdt. TH muncul.

2. Frase “saudara” tidak selalu bermakna harfiah hubungan saudara secara kandung.
Di sini Pdt. TH bersikeras (baca: ngotot) bahwa “ukhta harun” pada ayat tersebut bermakna saudara secara kandung bukan idiom.
Hal ini menggelikan karena Pdt. Th mengaku banyak mengkaji secara Hebraic-Aramaic dan juga Arabic tapi seolah olah dia mengabaikan fakta bahwa kata akhun-ukhtun dalam bahasa arab dan ach-achowt dalam bahasa ibrani memiliki pemaknaan selain hubungan saudara kandung.

Ini contohnya:
Dalam surat Al-a’raaf ayat 65, 73, 85 Nabi Hud, Saleh dan Syu’aib dikenal sebagai “saudara” masyarakat mereka masing-masing.
Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum ‘Aad saudara mereka, Hud.

Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain dari-Nya. Maka mengapa kamu tidak bertakwa kepada-Nya?”

Dan (Kami telah mengutus) kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shaleh. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang bukti yang nyata kepadamu dari Tuhammu. Unta betina Allah ini menjadi tanda bagimu, maka biarkanlah dia makan di bumi Allah, dan janganlah kamu mengganggunya dengan gangguan apapun, (yang karenanya) kamu akan ditimpa siksaan yang pedih.

Dan (Kami telah mengutus) kepada penduduk Mad-yan saudara mereka, Syu’aib. Ia berkata: “Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain-Nya. Sesungguhnya telah datang kepadamu bukti yang nyata dari Tuhanmu. Maka sempurnakanlah takaran dan timbangan dan janganlah kamu kurangkan bagi manusia barang-barang takaran dan timbangannya, dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi sesudah Tuhan memperbaikinya. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika betul-betul kamu orang-orang yang beriman.”

Apakah saudara disitu bermakna saudara kandung? TIDAK. Dan satu lagi, dalam Al Qaaf ayat 13,

dan kaum Aad, kaum Fir’aun dan ikhwanu (kaum) Lut.

Apakah saudara disitu adalah saudara kandung? Tentu TIDAK.

Begitu juga dengan Alkitab, saudara tidak selalu bermakna saudara kandung, ada frase “saudara perempuan israel”, “saudara Yesus” yang semuanya tidak dimaknai saudara kandung.


الاَخ-(al) akh – dan الاُخْتُ -(al) ukht – dalam perbendaharaan bahasa Arab sama dengan אח – ach – dan אחות – ‘achowth – dalam perbendaharaan bahasa Ibrani untuk saudara laki-laki dan perempuan. Dan terbukti penggunaannya (dalam bibel) tidak hanya berarti saudara dalam pengertian saudara kandung. Silahkan periksa dalam kamus strong bernomor 251 dan 269. Justru pemaknaan selain saudara kandung lebih banyak daripada pemaknaan saudara kandung.

Ini sangat jelas. Mungkin Pdt. TH pun juga sudah tahu hanya saja ngotot bahwa maknanya adalah saudara kandung sementara sejak Quran diturunkan hingga hari ini sejak nabi Muhammad, sahabatnya dan Muslim hingga hari ini tidak ada yang memaknai sebagai saudara kandung. Bukankah ini lucu. Memaksakan suatu persepsi keliru yang tidak ada dalam pemahaman Quran yang benar kemudian ditimpakan sebagai kesalahan Quran. Padahal, sesuai pernyataannya sendiri, “saudara” dapat bermakna selain literal jika konteksnya menunjukkan demikian. Maka, apakah pak pendeta lupa bahwa Muhammad Rasululah telah menjelaskan makna tersebut 14 abad yg lalu dan juga bukti dari tradisi semitik tentang penyebutan seseorang? Justru pak pendeta yang tetap keukeuh hanya dengan teks “kesamaan nama” belaka tanpa memahami konteks.
Ini sesat pikir. Strawman Fallacy!!

3. Maryam tidak sama dengan Miryam, dan Imran (ayah Maryam) berbeda dengan Amram (ayah Miryam, Musa, dan Harun)
Setelah membuktikan bahwa Muhammad sudah tahu bahwa Maryam tidak sezaman dengan Harun maka, bukti selanjutnya adalah bahwa Imran ayah Maryam ibu Isa as. tidak sezaman dengan Amram ayah Musa, Harun dan Miryam,

Surah Ali Imran ayat 35-37,

(Ingatlah), ketika isteri ‘Imran berkata: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku menazarkan kepada Engkau anak yang dalam kandunganku menjadi hamba yang saleh dan berkhidmat. Karena itu terimalah (nazar) itu dari padaku. Sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” Maka tatkala isteri ‘Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: “Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk.” Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. Setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: “Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?” Maryam menjawab: “Makanan itu dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab.

Ayat ini membuktikan bahwa Imran, istrinya, Maryam dan Zakaria hidup sezaman. Dan tentu saja bukan pada zaman Musa dan Harun. Dan tentu saja tidak ada kisah ini (istri Imran menazarkan Maryam) pada kisah Miryam maupun Amran dalam Alkitab. Sedangkan Zakaria disitu adalah ayah Yahya (Yohanes Pembaptis). Sudahkah bapak pendeta membaca ayat ini?

Lengkap sudah bukti-bukti yang meruntuhkan tuduhan anakronisme dalam Quran yang rapuh.

Untuk menutupi kegagalannya membuktikan anakronisme, Pdt. TH mengajukan pertanyaan lanjutan akibat kegagalannya dengan alasan apa Maryam disebut “ukhta Harun” dan mengapa harus “Harun’.

Mengapa harus Harun?

Pertama, “ukhta Harun” sebenarnya adalah hinaan bangsa Israel pada zamannya untuk menyindir Maryam. Maryam disitu telah dinazarkan oleh Ibunya untuk berkhidmat pada bait Allah.

Ayah Ibu Maryam dikenal sebagai orang yang saleh oleh masyarakat. Karena itu ketika mendapati Maryam yang telah dinazarkan untuk berkhidmat di bait Allah ternyata mempunyai anak maka mereka melontarkan pertanyaan ironi kepada Maryam,

“Hai Maryam, sesungguhnya kamu telah melakukan sesuatu yang amat mungkar. Hai saudara perempuan Harun, ayahmu sekali-kali bukanlah seorang yang jahat dan ibumu sekali-kali bukanlah seorang pezina”.

Dalam bahasa lain, kaumnya ingin menyatakan bahwa ayah ibunya bukan pezina tapi mengapa dirinya berzina. Kaumnya saat itu menuduhnya berzina karena mendapati seorang anak di luar pernikahan. “Saudara perempuan Harun” adalah sindiran baginya karena seharusnya ia adalah perempuan yang saleh, bukan pezina.

Kedua, kenapa harus Harun? Saya mengingatkan bahwa “Saudara perempuan” tidak bermakna saudara kandung, bisa jadi punya relasi dari keturunan seseorang. Misalnya keturunan Yehuda, dianggap saudara perempuan Israel. Maka maksudnya adalah keturunan Yehuda bersaudara dengan keturunan Israel lainnya, yang tentu saja mereka bukan saudara kandung karena selisih jamannya begitu panjang. Begitu juga dengan Maryam dikatakan saudara perempuan Harun maksudnya adalah saudara perempuan dari keturunan Harun, yang tentu saja bukan saudara kandung karena jika kandung maka jelas termasuk keturunan Harun dan lebih pas “putri Harun”. Ini juga dapat dijelaskan dari perspektif Alkitab. Dikisahkan ibu Maryam mempunyai saudara perempuan yang menikahi laki-laki keturunan Lewi dan mempunyai anak bernama Elizabeth. Lukas 1:5 menyebut Elisabeth sebagai “putri Harun” tentu saja bukan putri kandung melainkan keturunan Harun. Ia mendapatkan darah Lewi dari ayahnya. Dan Maryam disebut sanak saudara Elisabeth, karena ibu mereka bersaudara.
Maka, memahami frase “saudara perempuan Harun” dalam Quran sama mudahnya dengan memahami “saudara perempuan Israel” dalam Alkitab. Hanya orang yang menutup hati dan akal budinya yang sulit menerima penjelasan yang sederhana ini.

Akhirnya jangan lupa bahwa tradisi Yahudi tidak pernah memanggil “saudara” untuk seorang moyangnya, kecuali memanggilnya “bapak” (misalnya: bapak kami Abraham) atau sebaliknya “anak” (misalnya: anak Daud). Jelas Muhammad membuat silsilah baru DAN tradisi baru bagi Maryam, Isa, dan Israel, secara membual dan spekulatif!

(Diambil dari Artikel : Febri Ardian Pangestu)

Kamis, 17 April 2014

Wafat Isa Al Masih Dalam Sorotan Islam


Agama Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW kepada seluruh umat manusia adalah agama terakhir yang Allah U ridhai dan sempurnakan. Kedatangan Nabi Muhammad SAW sebagai Nabi akhir jaman telah tertulis dalam kitab-kitab samawi sebelum Al Qur’an seperti Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa AS ataupun Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa AS. Terlebih lagi telah dibenarkan dari para penganut-penganutnya yang masih memiliki kejujuran dan keimanan yang benar untuk mengikuti dan membela agama yang dibawa Nabi Muhammad SAW. Allah  berfirman (artinya):
Dan ingatlah ketika Isa putra Maryam berkata: “Hai Bani Isra’il, sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kalian, membenarkan kitab yang turun sebelumku, yaitu Taurat dan memberi kabar gembira dengan datangnya seorang Rasul yang akan datang sesudahku, yang namanya Ahmad (Muhammad).” (Ash Shaff: 6).

Selain itu pula Allah SWT menjadikan umat Islam sebagai umat yang adil dan umat pilihan dari seluruh umat manusia. Sebagaimana Allah I berfirman (artinya):
“Dan demikian pula Kami telah menjadikan kalian (umat Islam) sebagai umat yang adil (pilihan) agar kalian menjadi saksi atas perbuatan manusia.” (Al Baqarah: 143).

Para pembaca –semoga Allah SWT limpahkan rahmat-Nya kepada kita semua–,  kaum Nashrani setiap tahun memperingati hari wafat Isa Al Masih (sesuai sangkaan mereka). Perhatikanlah!!! Sejauh manakah keabsahan sangkaan mereka ini? Dan siapakah umat yang adil di dalam mensikapi Nabi Isa AS, apakah umat Islam, Yahudi, ataukah Nashrani? Simaklah keterangannya pada edisi kali ini.

Prinsip Islam Tentang Para Rasul

Merupakan bentuk dari rahmat Allah SWT, diutusnya para Rasul kepada setiap umat dan diturunkannya kepada mereka kitab-kitab suci sebagai petunjuk dan pedoman hidup. Realisasi dari rasa syukur terhadap rahmat Allah I itu adalah dengan beriman kepada mereka dan tidak membedakan satu dengan yang lainnya, yaitu dengan mengimani sebagian Nabi dan mengingkari sebagian yang lainnya. Allah berfirman (artinya): “Katakanlah : Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub, dan anak-anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, Isa, dan para Nabi dari Tuhan mereka. Kami tidak membedakan seorang pun di antara mereka dan hanyalah kepada-Nya kami menyerahkan diri.” (Ali Imran: 84).

Keutamaan Keluarga Imran Di Sisi Allah 

Di antara keutamaannya adalah:
1. Keluarga Imran merupakan salah satu keluarga yang Allah lebihkan di atas segala umat (di masa mereka). Allah berfirman (artinya): “Sesungguhnya Allah telah memilih Adam, Nuh, keluarga Ibrahim, dan keluarga Imran melebihi segala umat (dimasa mereka masing-masing).” (Ali Imran: 33).
2. Maryam binti Imran yaitu ibu Nabi Isa u merupakan wanita shalihah, yang Allah memilihnya dan mensucikannya, memberi rizki secara langsung kepadanya, serta melebihkan derajatnya di atas segala wanita di dunia. (Lihat Ali Imran: 37,42).
dan Rasulullah r bersabda:
حَسْبُكَ مِنْ نِّسَاءِ الْعَالَمِيْنَ أَرْبَعٌ : مَرْيَمُ بِنْتُ عِمْرَانَ ، وَ آسِيَةُ امْرَأَةُ فِرْعَوْنَ ، وَخَدِيْجَةُ بِنْتُ خُوَيْلَدٍ ، وَ فَاطِمَةُ بِنْتُ مُحَمَّدٍ
“Cukup bagimu, dari (sebaik-baik) wanita di alam ini ada empat, yaitu Maryam binti Imran, Asiyah istri Fir’aun, Khadijah binti Khuwailid dan Fathimah binti Muhammad.” (HR. Ahmad, At Tirmidzi).
3. Isa AS, selain ia diangkat menjadi seorang nabi, ia pun termasuk dari 5 nabi yang tergolong Ulul Azmi. Diturunkan kepadanya kitab suci Injil, karena tidak setiap Nabi diturunkan kepadanya kitab suci. Allah memberikan kepadanya mu’jizat-mu’jizat yang cukup banyak yaitu menyembuhkan orang yang buta, orang yang berpenyakit sopak (kulit), menghidupkan orang yang sudah mati dengan izin Allah U seperti dalam surat Ali Imran ayat ke 49 dan mu’jizat-mu’jizat lainnya yang disebutkan dalam Al Qur’an.

Tinjauan Yahudi Dan Nashrani Terhadap Nabi Isa AS

Sebenarnya kaum Yahudi benar-benar mengenal tentang kenabian Isa, kesucian dan kemuliaan ibunya yaitu Maryam binti Imran. Namun sikap hasad, arogan dan brutal yang diwarisi turun menurun dari nenek moyang kaum Yahudi, menyebabkan pengingkaran mereka kepada Nabi Isa u yang diutus kepada umat Bani Israil dengan membawa kitab Injil. Mereka menuduh Isa sebagai anak zina dari seorang wanita pezina, mengusir Isa dan ibunya, sampai akhirnya mereka meyakini telah berhasil membunuh dan menyalibnya. Memang inilah watak asli mereka yang merubah-rubah ayat-ayat Allah dan membunuh para nabi seperti Nabi Isa, Yahya dan nabi-nabi sebelumnya.
Sebaliknya kaum Nashrani, mempercayai orang-orang Yahudi, bahwa mereka telah berhasil menyalib dan membunuhnya. Dengan kebodohan mereka (kaum Nashrani), setelah peristiwa tersalibnya Nabi Isa (sesuai persangkaan mereka) lahirlah keyakinan-keyakinan kufur yang tidak mungkin berasal dari Nabi Isa, seperti keyakinan bahwa Isa adalah anak Allah, keyakinan Isa itu adalah Tuhan atau keyakinan Trinitas (salah satu dari yang tiga).

Nampaklah disini dua sudut pandang yang sangat bertolak belakang yaitu:
Pertama, orang-orang Yahudi yang terjatuh dalam sikap tafrith yaitu pelecehan dan penghinaan yang berlanjut pada upaya pembunuhan mereka terhadap Nabi Isa.
Kedua, orang-orang Nashrani yang terjatuh dalam sikap ifrath (ekstrim) yaitu meninggikan derajat seorang nabi melebihi dari yang semestinya, yaitu keyakinan bahwa Isa adalah anak Tuhan, Tuhan itu sendiri, ataupun Trinitas.
Adapun menurut agama Islam maka Isa adalah seorang manusia yang diangkat menjadi nabi dari nabi-nabi Allah. Adapun Isa dilahirkan dari seorang ibu tanpa bapak, maka itu sangat mudah bagi Allah. Bukankah Adam AS diciptakan tanpa ibu dan bapak? Bahkan Nabi Isa sendiri yang membantah logika-logika orang-orang Yahudi maupun Nashrani. Di dalam surat Maryam Allah memberitakan dialog orang-orang Yahudi dengan Nabi Isa yang masih dalam ayunan ibunya, (artinya):
“Berkata Isa: Sesungguhnya aku ini hamba Allah, Dia memberiku Al Kitab (Injil), dan dia menjadikan aku seorang Nabi.” (Maryam: 30).
“Sesungguhnya Allah adalah Tuhanku dan Tuhan kalian, maka sembahlah Dia.” (Maryam: 36).
“Dan ingatlah ketika Alah berfirman: “Hai Isa putra Maryam, adakah kamu mengatakan kepada manusia: Jadikanlah Aku dan ibuku dua sesembahan selain Allah? Isa menjawab: “Maha suci Engkau, tidaklah patut bagiku mengatakan apa yang bukan hakku. Jika aku pernah mengatakannya maka tentulah Engkau telah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri Engkau. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara-perkara yang ghaib.” (Al Maidah: 116).

Benarkah Nabi Isa  Wafat ?

Tidak, keyakinan agama Islam adalah bahwa Isa u masih hidup. Allah I mengangkat ruh dan jasadnya ke langit, sehingga batallah sangkaan kaum Yahudi yang mengklaim telah berhasil menyalib dan membunuhnya. Demikian pula sangkaan kaum Nashrani bahwa beliau telah wafat.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Dan disebutkan pula dalam hadits shahih bahwa Isa akan turun di menara putih sebelah timur Damsyiq dan akan membunuh Dajjal. Barangsiapa yang ruhnya telah berpisah dari tubuhnya, maka tubuhnya tidak akan turun dari langit. Dan jika ia hidup kembali, maka ia akan dibangkitkan dari kuburnya.

Adapun firman Allah (artinya): “Sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu, dan mengangkat kamu kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir.” (Ali Imran: 55). Maka ayat ini menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan sinyalemen di atas bukanlah al maut (kematian). Sebab jika yang dimaksud adalah kematian, maka Isa sama dengan orang mu’min yang lainnya, yaitu diambil ruhnya saja lalu dibawa ke langit. Kalau demikian, maka tidak ada keistimewaan Isa dibanding orang lain.
Begitu pula dengan firman-Nya (artinya): “Membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir.” (Ali Imran: 55). Kalau yang dimaksud adalah ruhnya berpisah dari tubuhnya, maka tubuhnya itu masih berada di bumi sebagaimana halnya tubuh para Nabi dan lainnya.

Dalam ayat lain Allah berfirman (artinya): “Mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh ialah orang yang diserupakan dengan Isa. sesungguhnya orang-orang yang berselisih paham tentang pembunuhan Isa, benar-benar dalam keraguan-raguan tentang yang dibunuh itu. mereka tidak mempunyai keyakinan tentang siapa yang dibunuh itu, kecuali mengikuti prasangka belaka, mereka tidak pula yakin bahwa yang mereka bunuh itu adalah Isa. Tetapi yang sebenarnya, Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya.“ (An Nisaa’: 157-158).

Yang semuanya itu (ayat-ayat di atas) memberikan penjelasan bahwa Allah mengangkat tubuh dan ruhnya sebagaimana halnya ia (Isa) akan diturunkan dengan tubuh dan ruhnya seperti yang disebutkan dalam hadits yang shahih. … Dan (lafadz at Tawaffi yang secara bahasa bermakna mematikan –red) selain itu juga bisa dimaknakan dengan memegang ruh ketika tidur. Seperti firman-Nya (artinya): “Allah memegang jiwa orang ketika matinya dan memegang jiwa orang yang belum mati pada waktu tidurnya.” (Az Zumar: 42).
Dan juga firman-Nya: “Dan Dia-lah yang mentawaffikan (menidurkan) kamu pada malam hari dan Dia mengetahui apa yang kamu kerjakan pada siang hari. (Al An’am: 60). (Majmu’ Fatawa 4/322-323). Sehingga makna ayat إِنَّيْ مُتَوَفِّيْكَ وَرَافِعُكَ إِلَيَّ dalam surat Ali Imran: 55 … yaitu: ‘Sesungguhnya Aku memegang ruh dan tubuhmu dan Aku mengangkat kamu kepada-Ku.”

Adapun firman Allah (artinya): “Tidak ada seorang pun dari ahli kitab kecuali akan beriman kepada Isa sebelum kematiannya.” (An Nisaa’: 159). Maka yang dimaksud dengan sebelum kematian Isa bin Maryam disini adalah kematiannya di akhir jaman, setelah diturunkan kembali oleh Allah di muka bumi untuk memerangi Dajjal, menghancurkan salib, dan membasmi babi. Demikianlah tafsir Ibnu Abbas t yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir At Thabari dan dikuatkan oleh Al Hafizh Ibnu Katsir di dalam tafsirnya 2/590. Maka dari itu, batallah pengakuan orang-orang Yahudi bahwa: mereka telah membunuh Isa, dan menyalibnya. Dan batal pula pembenaran orang-orang yang mempercayai mereka -bahwa Isa telah terbunuh- dari kalangan orang-orang Nashrani yang bodoh dan tidak mengerti permasalahan ini. Bahkan Allah memberitahukan bahwa perkaranya tidak demikian, tetapi ada seseorang yang diserupakaan oleh Allah dengan Isa, lantas mereka bunuh orang yang diserupakan itu sedang mereka tidak mengetahuinya dengan jelas tentang hal itu. Kemudian Allah mengangkat Isa kepada-Nya, dan dia (Isa) masih hidup dan kelak akan turun ke muka bumi. Sebagaimana dalam Q.S An Nisaa’ 157-158.

Yahudi Dan Nashrani Adalah Orang-Orang Kafir Selama Tidak Beriman Kepada Nabi Muhammad Dan Segala Apa Yang Dibawanya
Setelah Nabi Muhammad r diutus kepada seluruh umat manusia, maka tidak ada agama yang diterima di sisi Allah selain agama Islam. Allah I berfirman (artinya):
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah hanya agama Islam.” (Ali Imran: 16).
“Dan barangsiapa yang mencari selain dari agama Islam, maka sekali-kali tidak akan diterima, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 85).
Atas dasar itu, Ahlul Kitab yang tidak mau beriman dengan apa yang dibawa oleh Muhammad r adalah orang-orang kafir. Allah U berfirman (artinya):
“Sesungguhnya orang-orang kafir dari golongan Ahlul Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke jahannam, mereka kekal di dalamnya. Mereka itu adalah seburuk-buruk makhluk.” (Al Bayyinah: 6).
Rasulullah r bersabda:
لاَ يَسْمَعُ بِيْ أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلاَ نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِيْ أُرْسِلْتُ بِهِ إِلاَّ كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ.
“Tidaklah seorang pun yang mendengar tentang aku dari umat ini, baik Yahudi maupun Nashrani, kemudian mati dalam keadaan tidak beriman kepada agama yang aku diutus dengannya (Islam), kecuali pasti termasuk penduduk An Naar.” (HR. Muslim).
Wallahu A’lam bish Shawab

Sumber : Buletin Islam AL ILMU Edisi: 54/II/III/ 1426

Minggu, 13 April 2014

Nabi yang Diramalkan Oleh Sang Pembaptis Pastilah Muhammad


Ada dua ucapan yang sangat penting mengenai Yohanes Pembaptis yang disampaikan oleh Yesus, tetapi dicatat dengan cara aneh:

Ucapan pertama Yesus mengenai Yohanes adalah bahwa Yohanes dimunculkan ke dunia sebagai reinkarnasi Elia (nabi dalam Perjanjian Lama). Keanehan yang menyelimuti sebutan ini terjadi pada diamnya Yesus mengenai identitas dari orang yang diharapkan secara resmi diperkenalkan oleh Elia kepada dunia sebagai nabi terakhir. Bahasa Yesus dalam hal ini adalah sangat kabur, ambigu, dan aneh.

Seandainya Yohanes adalah (reinkarnasi dari) Elia, lantas mengapa dia tidak disebutkan secara jelas?

Seandainya Yesus adalah sang “Utusan yang dijanjikan” dan Dominator[1] (terjemahan Vulgate untuk bahasa Ibraninya “Adon” seperti yang tercantum dalam Maleakhi 3:1), mengapa dia secara terbuka mengatakan begitu ? Jika ia dengan berani menyatakan bahwa bukan dirinya, tetapi nabi lain yang merupakan “Dominator” itu. Maka sebenarnya pastilah ada tangan jahat yang menghapus dan menghilangkan kata-kata Yesus dari kitab Injil yang asli.

Bagaimanapun juga, kitab Injil-injil lah yang harus bertanggung jawab atas ambiguitas dan ketidakjelasan ini. Itu hanya dapat digambarkan sebagai hal kejam yang merusak teks dan telah menyesatkan jutaan umat Kristen berabad-abad.

Yesus seharusnya menunjukkan diri secara terbuka dan eksplisit dengan mengatakan, “Yohanes adalah Elia yang diutus sebagai perintis yang mempersiapkan jalan untukku!” Atau jika bukan seperti itu, maka mungkin ia sudah menyatakan hal sebagai berikut, “Yohanes adalah Elia yang diutus untuk mempersiapkan jalan bagi Muhammad”. Barangkali ini disebabkan oleh kegemaran Yesus akan bahasa yang bersifat ambigu (kemenduaan makna).

Sebenarnya ada beberapa contoh sebagaimana dilaporkan dalam Injil-Injil, dimana Yesus memberikan pernyataan yang tidak jelas dan sama sekali tidak dapat dipahami. Dengan mengesampingkan ketuhanannya, sebagai seorang nabi bahkan sebagai seorang guru, ia diharapkan menjadi seorang guru yang terus terang.

Ucapan lain yang terselubung dalam keanehan adalah, “Tidak seorang pun yang dilahirkan oleh perempuan lebih besar dari Yohanes” kata Yesus, “Tetapi yang paling kecil di Kerajaan Surga adalah lebih besar daripada Yohanes”. Apakah Yesus bermaksud mengajari kita bahwa Yohanes dan semua nabi serta orang-orang shaleh berada diluar Kerajaan Tuhan? Siapakah orang “paling kecil” yang lebih besar daripada Yohanes? Dan konsekuensinya dari semua umat Tuhan yang mendahului Yohanes? Apakah Yesus sendiri yang dimaksud “paling kecil” itu? Atau yang “paling kecil” diantara orang-orang Kristen yang dibaptis? Tidak mungkin dia sendiri, karena pada masanya Kerajaan itu belum didirikan di bumi. Jika memang dia, maka tidak mungkin ia sebagai yang “paling kecil” didalamnya karena ia adalah pendirinya.

Gereja – dengan sudut pandangnya yang aneh – telah menemukan solusi yang sangat tidak masuk akal untuk memecahkan problem ini. Dan solusi itu adalah bahwa orang Kristen lah yang “paling kecil” untuk dicuci dengan darah Yesus (melalui sakramen pembaptisan, menurut keyakinan kaum Sacerdotolis, atau kalau tidak melalui semacam regenerasi, menurut ketakhayulan penginjil) menjadi “lebih besar” dari Yohanes dan semua orang-orang suci terdahulu, termasuk Adam, Nuh, Ibrahim, Musa, Daud, Elia, Daniel.

Alasan atau bukti klaim yang mengagumkan ini adalah bahwa umat Kristen, betapapun berdosanya dia, asalkan dia beriman kepada Yesus sebagai Juru Selamatnya, maka ia memiliki hak-hak istimewa ( privilages) yang didambakan para nabi suci namun tidak dinikmatinya. Hak-hak istimewa ini sangat banyak. Penyucian dari dosa asalkan melalui pembaptisan kristen, pengetahuan tentang Trinitas, pemberian makanan daging dan darah Yesus dalam Sakramen Ekaristi, doa dengan membuat tanda salib, hak-hak kuci surga dan neraka diberikan kepada Paus, dan kegembiraan yang berlebih-lebihan (ectasy) dari kaum Puritan[2], Quaker[3], Persaudaraan, dan semua sekte lain yang disebut Kaum NonKonformis yang masing-masing dengan jalannya sendiri-sendiri, meskipun mengklaim hak-hak istimewa dan hak-hak proregratif yang sama, semua sepakat bahwa setiap orang Kristen yang baik pada hari kebangkitan akan menjadi perawan suci dan menampilkan dirinya sebagai pengantin perempuan untuk “Domba Tuhan”!

Lantas, tidakkah Anda berpikir bahwa umat Kristen berhak untuk percaya bahwa yang “paling kecil” diantara mereka adalah “lebih besar” dari semua nabi? Tidakkah Anda berpikir, kalau demikian, bahwa biarawan Patagonian yang kekar dan biarawati Parisian yang menebus dosa adalah lebih mulia daripada Adam dan Hawa, karena misteri Trinitas disampaikan kepada orang-orang idiot ini dan tidak kepada nenek moyang mereka yang dahulunya hidup bersama Allah di Surga sebelum mereka diturunkan kebumi?

Namun semua keyakinan dan aqidah yang bermacam-macam ini berasal dari Perjanjian Baru dan dari ucapan-ucapan yang dinisbahkan kepada Yesus dan rasul-rasulnya. Namun, bagi kita sebagai kaum Ahlultauhid Muslim ada sedikit cahaya kemilau yang tertinggal dalam kitab-kitab Injil, dan sudah cukup bagi kita untuk menemukan kebenaran tentang Yesus dan sepupunya (Yohanes) yang sebenarnya.

Yohanes Pembaptis meramalkan Muhammad

a. Menurut kesaksian Yesus, tidak ada orang yang dilahirkan perempuan lebih besar dari Yohanes, namun yang “paling kecil” dalam Kerajaan Surga adalah lebih besar dari Yohanes. Perbandingan yang dibuat oleh Yesus adalah antara Yohanes dan semua nabi sebelumnya sebagai penghuni Kerajaan Surga. Nah dalam urutan kronologis maka nabi terakhir adalah yang “paling kecil” diantara para nabi, ia akan menjadi junior mereka dan yang paling muda.

Kata “z’ira” dalam bahasa Arami, seperti kata Arab “saghir”, berarti “anak kecil”. Versi Pshittha menggunakan kata “z’ira” atau “z’eira” sebagai lawan dari “rabba” untuk “besar, tua”.

Setiap orang Kristen akan mengakui Yesus adalah bukan nabi yang “terakhir”, dan karenanya ia tidak mungkin sebagai yang “paling kecil”. Tidak hanya para rasul sendiri yang diberkati dengan pemenuhan nubuat, tetapi juga banyak manusia suci lainnya di zaman kerasulan disokong dengan kisah itu (Kisah-kisah 11:27-28; Kisah-kisah 13:1; Kisah-kisah 15:32; Kisah-kisah 21:9-10),

Dan karena kita tidak dapat menemukan yang mana dari nabi-nabi gereja yang banyak ini adalah “yang terakhir”, tentu saja kita dipaksa untuk mencari kemana-mana seorang nabi yang tidak dapat disangkal adalah nabi terakhir dan penutup daftar kenabian. Dapatkah kita membayangkan bukti-bukti mendukung Muhammad yang lebih kuat dan lebih brilian daripada pemenuhan nubuat Yesus yang menakjubkan ini?

Dalam daftar panjang keluarga nubuat, tentu saja yang “paling muda”, yang “paling kecil” adalah Muhammad. Beliau adalah “Adon” (Tuan) nya mereka. Menyangkal ciri dan sifat nubuat kenabian Muhammad merupakan suatu penyangkalan yang mendasar terhadap keseluruhan wahyu Ilahi dan semua nabi yang mengajarkannya. Karena semua nabi lainnya secara bersama-sama belum menyelesaikan karya raksasa yang diselesaikan sendiri oleh nabi dari Mekkah dalam waktu singkat yakni 23 tahun misi kenabiannya.

Misteri tentang kehidupan sebelumnya dari roh-roh para nabi belum diungkap kepada kita, tetapi setiap muslim sejati mempercayainya. Roh yang ada sebelumnyalah dengan kekuatan firman Allah “ kun ” (jadi) seorang lanjut usia Sarah, seorang lanjut usia Hannah, dan seorang perawan Maria melahirkan Ishaq, Yohanes, dan Yesus.

Injil Barnabas melaporkan bahwa Yesus berbicara tentang roh Muhammad yang dinyatakan olehnya telah diciptakan sebelum semua yang lain.

Saya senang mengatakan bahwa hak sayalah, berkat karunia Allah, untuk memecahkan problem misteri yang selama ini menutupi apa arti dan maksud sebenarnya dari “yang paling kecil dalam Kerajaan Surga” !

b. Yohanes mengakui bahwa Muhammad lebih unggul dan lebih kuat darinya. Ungkapan penting disampaikannya kepada orang-orang Yahudi itu, “Dia yang datang setelah aku” mengingatkan para Penulis, Pharisee, dan ahli hukum mereka pada ramalan kuno dari nenek moyang mereka, Yaqub, dimana Patriarch itu menggunakan gelar yang unik “Syilokhah” untuk “Rasul Allah/ Rosululloh”, julukan yang sering digunakan oleh Yesus untuk Muhammad dalam Injil Barnabas. Pada waktu menulis artikel saya tentang “Syiloh”, saya mengatakan bahwa kata tersebut bisa jadi merupakan perubahan dari “Syiloukh” atau “Syilokhah” yang artinya adalah Rasul Allah (Rosululloh), tetapi kemudian saya lupa bahwa Yerome juga telah memahami bentuk Ibrani itu dalam arti tersebut, karena ia telah menerjemahkannya sebagai “ qui mittendis est ”

Ketika saya merenungkan penangkapan dan pemenjaraan Yohanes yang tidak berdaya oleh Herod dan pemenggalan lehernya secara kejam, atau ketik saya membaca dengan teliti cerita-cerita membingungkan nan tragis mengenai pencambukan Yesus oleh Pilate, penobatan Yesus dengan mahkota duri (dalam keadaan disalib kesakitan) oleh Herod, dan malapetaka di Calvary[4], lalu saya beranjak memalingkan pandangan saya pada masuknya Adon (dengan 10.000 pasukan) dengan penuh kemenangan ke Mekkah, penghancuran total semua berhala didalam Ka’bah suci, pemandangan yang menggetarkan hati dari musuh pembawa maut bernama Abu Sufyan yang takluk dikaki Syilokhah (Rasul Allah) memohon pengampunannya dan menyatakan keimanannya, dan atas ibadah agung dan khotbahnya yang terakhir dari sang penutup para nabi menerima firman ilahi yang terakhir ini “Al yauma akmaltu lakum dinukum” (Hari ini Aku telah sempurnakan bagimu agamamu), dan sebagainya, kemudian saya sepenuhnya memahami bobot dan nilai dari pengakuan Yohanes, “Dia lebih kuat dariku”.

c. “Kemurkaan yang akan datang” . Pernahkah Anda menjumpai penfsiran yang pantas dan bijaksana, dan meyakinkan dari kalimat ini diantara banyak sekali komentar mengenai kitab Injil? Apa yang dimaksud Yohanes dengan ungkapan, “Lihatlah kapak sudah dipasang pada akar pohon?” Atau perkataannya, “Ia memegang kapas ditangannya untuk membersihkan lantai pengiriknya?” Atau ketika ia meremehkan gelar “Anak-anak Ibrahim”?

Saya tidak akan menghalangi Anda untuk mengetahui tingkah laku para penafsir, karena mereka adalah lamunan yang tidak pernah diimpikan oleh Yohanes ataupun pendengarnya. Mungkinkah Yohanes pernah mengajari kaum Pharisee yang angkuh dan kaum Saduqee[5] yang rasionalistik itu menyangkal kebangkitan jasmaniah bahwa pada hari kiamat Yesus akan menumpahkan kemurkaannya pada mereka dan membakar mereka bagaikan pohon-pohon yang tidak berbuah dan bagaikan sekam dalam api neraka? Tidak ada satu kata pun dalam semua literatur kitab suci mengenai kebangkitan jasad-jasad atau mengenai api neraka. Tulisan-tulisan Talmudistik ini penuh dengan misteri eskatologis yang sangat mirip dengan tulisan kaum Zardusytee, tetapi sumbernya sama dari kitab-kitab resmi.

Nabi yang bertobat dan membawa kabar baik itu tidak berbicara tentang kemurkaan yang jauh dan tidak terbatas yang sudah pasti menunggu kaum kafir dan kaum Atheis, tetapi berbicara tentang malapetaka yang terdekat dari bangsa Yahudi. Ia mengancam bahwa murka Allah sedang menunggu kaum itu jika mereka terus-menerus berbuat dosa dan menolak misi dan koleganya, Yesus.

Bencana yang akan datang adalah hancurnya Yerusalem dan pembubaran terakhir Israel yang terjadi sekitar 30 tahun sesudah itu selama masa hidup para pendengarnya. Baik dia maupun Yesus mengabarkan kedatangan Rasul Allah yang agung yang telah dikabarkan oleh Yaqub dengan gelar Syilokhah, dan bahwa dengan kelahirannya semua hak kenabian dan kehormatan serta otoritas akan diambil dari bangsa Yahudi, dan memang, demikianlah yang terjadi sekitar 6 abad kemudian, ketika benteng-benteng terakhir mereka di Hijaz diratakan dengan tanah dan kepangeranan mereka dihancurkan oleh nabi Muhammad saw.

Kekuasaan Romawi yang semakin mendominasi di Syria dan Palestina telah mengancam otonomi palsu bangsa Yahudi, dan arus emigrasi bangsa Yahudi akhirnya dimulai. Dan mengenai cerita inilah Yohanes bertanya, “Siapa yang memberitahu kalian untuk melarikan diri dari kemurkaan yang akan datang?” Mereka diperingatkan dan didesak untuk menghasilkan buah-buah yang bagus dengan pertobatan dan kepercayaan terhadap para rasul Tuhan yang sejati, khususnya kepada Adon, yang merupakan sang pemimpin sejati dan terakhir yang kuat.

d. kaum Yahudi dan Kristen selalu menuduh Muhammad telah menegakkan agama Islam dengan kekuatan dan pedang. Kaum modernis Islam selalu berusaha untuk menyangkal tuduhan ini. Tetapi ini tidak berarti mengatakan bahwa Muhammad tidak pernah menggunakan pedang. Ia harus menggunakannya untuk mempertahankan nama Tuhan.

Setiap kesabaran ada batasnya. Setiap kemurahan hati ada akhirnya. Kesempatan dan waktu yang diberikan oleh Allah kepada bangsa Yahudi, Arab, dan lainnya berakhir selama lebih dari 4000 tahun. Hanya setelah berakhirnya periode inilah baru Allah mengutus Muhammad dengan membawa kekuatan dan pedang, api dan roh, untuk menghadapi kaum kafir yang kejam, menghadapi anak-anak Ibrahim yang tidak bersyukur (baik bani Ismail dan bani Israil), dan menghadapi kekuatan Iblis.

Keseluruhan Perjanjian Lama merupakan cerita tentang teokrasi dan pemberhalaan. Kadang-kadang sedikit cahaya Islam –yakni agama Allah- bersinar di Yerusalem dan Mekkah; namun ia selalu dianiaya oleh kekuatan Setan. Empat Binatang Buas yang kejam datang menginjak-injak kaum beriman. Lalu datanglah Muhammad untuk menghancurkan dan membunuh Ular Berbisa dan memberinya gelar yang hina “iblis” –setan yang terluka memar.

Tentu saja Muhammad adalah seorang nabi yang melakukan pertempuran, tetapi objek pertempuran itu adalah kemenangan bukan balas dendam. Penaklukan musuh dan menegakkan agama Islam sebagai Kerajaan Allah dimuka bumi.

Sebenarnya, ketika Yohanes digurun pasir berseru dengan suara nyaring, “Siapkan jalan Tuhan dan luruskan jalan-jalanNya”, ketika itu ia sedang menyinggung agama Tuhan dalam bentuk kerajaan yang sedang datang mendekat. Tujuh abad sebelumnya, nabi Yesaya telah meneriakkan dan mengucapkan kata-kata yang sama (Yesaya 40:1-4). Dan dua abad kemudian Allah sendiri meratakan jalan untuk Koresh[6] dengan menaikkan dan menutup setiap lembah, meratakan setiap bukit dan gunung untuk memudahkan penaklukan dan mempercepat gerakan (Yesaya 45:1-3).

Sejarah berulang sendiri, kata mereka; dalam kedua kasus tersebut bahasa dan maknanya sama. Yang pertama menjadi prototipe yang kedua. Allah telah meratakan jalan untuk Raja Koresh (Koresy) dari Persia untuk menundukkan musuh-musuhnya kedalam taklukan Persia, karena Bait Allah di Yerusalem dan orang-orang pilihanNya dalam penjara.

Kini sekali lagi Tuhan mengulang kejadian yang hampir sama, tetapi dengn skala yang lebih besar dan lebih luas. Dihadapan khotbah Muhammad, semua berhala dihilangkan, dihadapan pedang Muhammad, maka kerajaan-kerajaan disekitarnya takluk pada beliau, dan anak-anak Kerajaan Allah menjadi sederajat dan membentuk “orang-orang kudus milik Yang Maha Tinggi”. Karena hanya dalam Islam lah semua orang beriman sederajat. Tidak ada pendeta (dengan hak-hak khususnya), tidak ada sakramen, tidak ada kasta dan perbedaan ras. Semua orang beriman adalah satu, kecuali dalam kebajikan dan kesabaran, dalam hal mana mereka saling mengungguli.

________________________________________

Catatan Kaki

[1] Maleakhi 3:1 versi Vulgate: Ecce ego mittam angelum meum et praeparabit viam ante faciem meam et statim veniet ad templum suum dominator quem vos quaeritis et angelus testamenti quem vos vultis ecce venit dicit Dominus exercituum.

[2] Puritan adalah orang yang sangat teguh berpegang pada peraturan-peraturan tata susila.

[3] Quaker adalah anggota suatu perkumpulan Kristen anti perang dan anti sumpah.

[4] Calvary (merupakan bahasa latin dari Golgota) adalah bukit diluar Kota kuno Yerusalem tempat Yesus disalib, sebagaimana diyakini oleh Kristen.

[5] Nama ibrani ini secara salah ditulis Saducee.

[6] Koresh adalah seorang Raja Persia dan penakluk Kerajaan Babylonia yang mengizinkan bangsa Yahudi untuk kembali ke kampung halamannya di Palestina. Bangsa Yahudi sebelumnya menjalani masa pembuangan oleh Kerajaan Babylonia.

Sumber:

"Menguak Misteri Muhammad SAW", Benjamin Keldani, Sahara Publisher, Edisi Khusus Cetakan kesebelas Mei 2006